Lutung Rasa Sunda

Tulisan & Foto: Ratu Selvi Agnesia

LUTUNG Kasarung (lutung yang tersesat) merupakan salah satu folklore ataupun legenda yang tak lekang dimakan zaman. Sebuah kisah dari kahyangan yang menceritakan kutukan yang harus diterima Guru Minda karena melanggar perintah sang Ibu, Sunan Ambu. Guru Minda dikutuk menjadi lutung (kera hitam) karena perilakunya mirip dengan lutung. Diturunkan ke Marcapada (Bumi) dan akan kembali pada keadaan semula setelah menemukan perempuan impiannya.

Kelompok Sandiwara Sunda Miss Tjitjih yang terbentuk sejak 1928 di Jakarta ini (dulunya bernama Opera Valenci) masih tetap memiliki eksistensi dalam seni pertunjukan dari generasi ke generasi, dalam Festival Schowburg X, Gedung Kesenian Jakarta (21/9/12) yang berjuluk “The Legend” lakon “Lutung Kasarung Guru Minda” dipentaskan.

Miss Tjitijih membalut lakon Lutung Kasarung dengan sentuhan modern, seperti pada tata cahaya lampu dengan pola martin yang memberi sentuhan berbeda di panggung disandingkan dengan multimedia yang menggambarkan suasana langit, tapi secara pengadegan juga tak lepas dari efek-efek yang biasa digunakan Miss Tjitjih. Seperti efek Sunan Ambu dan batu-batu yang bisa terbang. Maupun efek asap yang bisa mengubah lutung menjadi Guru Minda dalam sekejap.

“Kita pindah lebih modern karena yang Ibu pikir saingan Miss Tjitjih banyak sekali, gimana caranya agar penonton tidak meninggalkan Miss Tjitjih. Jadi, kami memasukkan yang modern juga, tidak seperti dahulu yang totok dengan aturan, kalau Ibu memaksakan seperti itu takutnya penonton anak muda kurang senang,” tutur Imas Darsih, Sutradara Miss Tjitjih yang menyebut dirinya sendiri dengan sebutan Ibu.

Berawal pada intrik di kisah kerajaan, baik di kahyangan yang dipimpin Sunan Ambu dan Kerajaan Pasir Batang sebagai tempat utama dalam pertunjukan ini. Kerajaan Pasir Patan yang dipimpin Prabu Tapa Agung dialihkan kepada puteri bungsunya Purbasari (Tati Rohatin) karena kecerdasan dan tingkah lakunya yang terpuji di antara ke-enam puterinya yang lain.

Ama yakin yen percaya, hideup mampu mimpin nagara,” ujar Prabu Tapa Agung dalam pertunjukan yang berarti Prabu bergitu percaya Purbasari dapat memimpin negara.

Puteri sulung, Purbalarang (Elly Herawati) tak bisa terima dan melakukan kudeta pada Purbasari dengan merusak wajahnya dan mengusir Purbasari ke Gunung Cupu Mandala Ayu, di sinilah Purbasari bertemu dengan Lutung Kasarung jelmaan Guru Minda (Sarifah Rohmah) yang dikutuk.

Dengan permohonan Guru Minda pada Sunan Ambu, hutan tempat tinggal Purbasari berubah menjadi kerajaan, bahkan lebih besar dari Kerajaan Pasir Patan. Purbalarang yang serakah dan iri, lalu ingin menukar kerajaan yang dipimpinnya. Karena tidak terpenuhi keinginannya, Purbalarang mengajukan taruhan dan syarat agar Purbasari mampu menahan laju air di sungai Sipatahunan dengan batu-batu sebagai penahan, agar rakyat Purbalarang dapat mencari ikan dengan mudah.

Meski syarat pertama telah terpenuhi atas bantuan Lutung, Purbalarang masih juga mengajukan syarat lain, dengan menguji pasangan yang paling memiliki paras tampan, karena Purbalarang tahu bila pasangannya, Prabu Indrajaya, tak bisa dikalahkan apalagi oleh seorang Lutung.

Di sinilah, keajaiban terjadi, Lutung atas bantuan Sunan Ambu mengubah dirinya menjadi Guru Minda, pemuda gagah dan lebih tampan dari Indrajaya. Akhirnya takhta kerajaan kembali diberikan pada Purbasari, dia menjadi seorang Ratu didampingi Guru Minda yang dulu berwujud Lutung.

Berbagai kisah Lutung Kasarung banyak dipentaskan oleh kelompok seni pertunjukan di Indonesia hingga dalam bentuk drama musikal, tetapi Miss Tjitjih tetap menjaga kekhasan kelompoknya dan daerah asal kisah Lutung Kasarung dengan menggunakan Bahasa Sunda di hampir sepuluh babak yang dipentaskan dalam durasi tiga jam. Sementara penggunaan Bahasa Indonesia terselip di antara humor improvisasi agar tidak menimbulkan suasana terlalu tegang, terutama pada tokoh Paman Lengser (Abah Oyot) sebagai peran yang polos tapi cerdas dan jenaka, seolah mewakili suara rakyat jelata.

Antara Kutukan dan Pertolongan

Lakon cerita dan rakyat di tatar Sunda sarat nilai-nilai hidup yang masih relevan untuk diterapkan untuk masa kini. Selain Lutung Kasarung, ada pula kisah Munding Laya Dikusuma ataupun Sangkuriang. Keistimewaan legenda ini yang pertama yakni memperlihatkan kutukan yang dialami dewa atau manusia karena kesalahannya dan mereka akan terbebas dari kutukan setelah menemukan jalan keluar melalui pertemuan dengan orang yang bisa membebaskannya, sebenarnya ini memiliki filosofis pemaknaan menjadi “makhluk dengan laku lebih baik” yang menjadi kunci dari pembebasan kutukan.

Kutukan ini pun selalu terbantu oleh “pertolongan tiba-tiba” atau “Deus Ex Machina” yaitu pertolongan yang muncul oleh keajaiban seperti Sunan Ambu yang membantu Lutung mengubah hutan menjadi kerajaan dalam waktu semalam dan mengubah Lutung kembali menjadi Guru Minda. Ataupun Nyi Pohaci yang menampakkan diri dan menghidupkan kembali pangeran Mundinglaya setelah bertempur dengan para guriang (makhluk halus) dalam kisah Mundinglaya Dikusuma.

Posisi perempuan menjadi istimewa dalam beberapa kisah di tataran Sunda, seperti Sunan Ambu sebagai pemimpin atau Ratu tertinggi di kahyangan, begitupun Purbasari yang terpilih menjadi Ratu memimpin kerajaan, Purbalarang sebagai perempuan yang memiliki kuasa penuh menindas rakyatnya, ataupun Dayang Sumbi yang memohon pertolongan Dewata untuk menggagalkan taruhan Sangkuriang dalam membangun perahu dan menjadi legenda cikal bakal Gunung Tangkuban Perahu. Mungkin saja, pada masa lalu perempuan sangat diagungkan oleh masyarakat Sunda dan memiliki posisi istimewa karena karakter dan kecantikannya, sehingga kisah-kisah perempuan tangguh begitu lekat dalam tataran Sunda.

“Ini adalah amanah yang kuat dan harus kita pegang,” kata Imas menegaskan.

Kisah-kisah yang imajinatif ini memberikan sebuah masalah-masalah yang dipecahkan dengan solusi demi solusi pula dan masih tetap unggul dengan kekhasan tradisional, tapi masih relevan dengan masa kini, di mana tata nilai menjadi tumpang tindih. Sebagai refleksi untuk memberikan pencerahan dan kesadaran pada kondisi zaman masa kini. Seperti ucapan Sunan Ambu sebelum kisah Lutung Kasarung berakhir. “Manusia yang seharusnya jadi suri teladan untuk zaman, bukan sebaliknya.”

Tinggalkan komentar